Cara Pelaku Media Bertahan di Era “New Normal”

[IMG:timthumb.php.jpeg]

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Media menjadi salah satu industri yang terdampak akibat multikrisis pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Fakta itu terungkap dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat bertajuk “Bagaimana Seharusnya Industri Media Merespons Era New Normal”, Selasa (30/6/2020). 

Kompas Gramedia atau dikenal dengan KG Media, misalnya. Meski page view-nya meningkat 30 persen selama Covid-19, namun demand digital advertising turun 30 persen. Kondisi ini menuntut mereka, seperti halnya media lain, melirik peluang di ranah digital dengan cara mentransformasi segala bentuk event off-line. Salah satunya, menyelenggarakan webinar. “Langkah ini menuntut kami untuk memiliki kapabilitas dan kapasitas baru di bidang penyelenggaraan event on-line,” kata CEO KG Media Andy Budiman.

Lainnya yang harus diwaspadai pelaku media adalah pemboikotan pemasangan iklan oleh sejumlah brand besar kepada Facebook. Dampaknya, mereka beralih ke Google. “Akan terjadi beberapa perubahan pada platform Google dalam waktu dekat. Kita harus merespons perubahan itu dengan melakukan akselerasi first party data collection,” ujar Andy. “Maka, jangan hanya terfokus pada advertising. Kita juga harus fokus di digital subscription untuk mendapatkan pendapatan langsung dari pembaca,” imbuhnya.

Menyikapi hal itu, KG Media makin serius mengelola data pengunjung situsnya. Tujuannya, untuk menangkap, meningkatkan jumlah pengguna yang berlangganan, memperkaya data terkait pembaca, dan memperoleh gambaran akurat. Sehingga, mereka dapat melakukan monetisasi sesuai targeted advertising.

 

Perkuat “Value”

Menurut Januar P Ruswita, Ketua Harian SPS Pusat yang juga merupakan Direktur Bisnis Pikiran Rakyat, semua media sedang mencari model bisnis yang baru. Ada beberapa rujukan, tapi belum tentu cocok diterapkan. “Untuk tetap hidup, yang harus dilakukan adalah tetap adaptif,” katanya.

Di Pikiran Rakyat, selain melakukan penyesuaian protokol, mereka melakukan penyesuaian strategi perusahaan jangka pendek, menengah, panjang. Strategi jangka pendek (Juli – September 2019), periode menyelamatkan cash flow. Salah satunya, mengurangi tiras secara terukur. Sementara jangka menengah (Oktober – Desember 2020), periode berbenah/melangkah. Menjadi brand value yang memiliki pengaruh kuat dengan konten berkualitas dan jaringan mengakar. Caranya, mengedepankan konten indepth news.

Strategi jangka panjang, Januari 2021, momentum perubahan. “Ekosistem data yang terbangun dari newsroom, media on-line dan media sosial menjadi big data yang bisa dieksplorasi sebagai model bisnis dan sumber pedapatan baru,” katanya.   

Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Toriq Hadad  tak memungkiri keterpurukan terjadi di hampir semua departemennya selama pandemi. Kecuali, Departemen Creative dan Riset seperti Tempo Institute dan Tempo Impresario. “Mereka justru sedang menerima banyak permintaan in-house training secara daring,” katanya.

Untuk itu, langkah pertama yang sebaiknya dilakukan pada masa ini adalah melakukan stress test. Tujuannya, untuk mengetahui seberapa jauh organisasi bisa bertahan. Dengan cara itu organisasi bisa mencari jalan keluarnya sendiri. “Pandemi sebenarnya momentum yang tepat bagi pelaku media melakukan stress test,” katanya.

Jika uji coba gagal, langkah selanjutnya adalah efisiensi tanpa batas. Mulai dari penyesuaian gaji hingga mengubah dari fixed menjadi variable cost. Kemudian, memberlakukan self financing. Masing-masing departemen harus bisa hidup dengan pendapatannya sendiri. Diikuti, downsizing. “Pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh sepuluh orang, sekarang cukup lima orang,” ujarnya. Yang pasti, kata Toriq, era normal yang baru ini menjadi ajang pembuktian apakah produk media tersebut memiliki value bagi audiensnya. (rtn/ais)