Kala Verifikasi Berbuah Kontroversi

[IMG:verifikasi-13.jpeg]

Namun, langkah cepat Dewan Pers justru menuai kontroversi di internal komunitas pers. Hal itu dipicu rilis Dewan Pers yang beredar Sabtu (4/2/2017). Rilis tersebut menyebutkan 74 media yang lolos verifikasi dan akan diumumkan pada puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon.

Sebagai tanda terverifikasi media cetak dan on-line, Dewan Pers akan memberikan logo dan QR Code (kode batang) yang dapat dipindai menggunakan smartphone dan terhubung dengan website Dewan Pers. Sementara media penyiaran televisi dan radio akan diberikan bumper in dan out sebagai penanda terverifikasi.

Rilis itu juga menyebutkan Dewan Pers hanya akan mendukung dan melindungi media terverifikasi jika menghadapi sengketa pers. Sialnya, ada pihak tidak
bertanggung jawab yang menambahkan satu paragraf berisi hoax, berupa imbauan kepada instansi pemerintahan pusat, daerah, TNI dan Polri untuk tidak melayani media yang tidak disertifikasi Dewan Pers.

Bak petir di siang bolong, media-media profesional yang belum tersertifikasi dan komunitas pers pun meradang. Mereka merisaukan dampak dari pengumuman
nama-nama media tersebut, penggunaan kode batang (barcode), dan potensinya menghalangi kebebasan pers.

Untuk meredam kontroversi Senin pagi (6/2/2017) Serikat Perusahaan Pers (SPS) menemui Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Gedung Dewan Pers lantai 7
guna mengklarifikasi berbagai isu yang berkembang. Usai bertemu Dewan Pers, siangnya SPS mengumumkan sikap melalui konferensi pers. “SPS meyakini bahwa daftar sekitar 74 perusahaan pers yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers adalah daftar tahap pertama, yang akan disusul tahap-tahap berikutnya,” kata Sekjen SPS Heddy Lugito saat membacakan pernyataan sikap.

Selain itu, SPS juga telah menerima penegasan bahwa Dewan Pers tidak menyampaikan secara terbuka nama-nama perusahaan pers maupun menyerahkan
sertifikat standar perusahaan pers yang telah diverifikasi Dewan Pers, pada acara HPN di Ambon, 9 Februari 2017.

Ketua Harian SPS Ahmad Djauhar mengatakan, SPS mendukung program verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers. Apalagi SPS merupakan lembaga yang
telah diberikan mandat untuk menverifikasi media cetak sejak Maret 2015. “SPS meyakini bahwa program verifikasi adalah mekanisme penyehatan pers Indonesia
yang dilakukan oleh masyarakat pers sendiri, sebagai langkah agar tidak ada kekuatan luar yang memaksa pers untuk menyehatkan diri,” katanya.

Reaksi juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sejatinya, AJI memahami tujuan pendataan dan verifikasi oleh Dewan Pers, namun AJI mengingatkan agar verifikasi media tidak melanggar kebebasan pers. “Jangan sampai ada konsekuensi yang mengancam kebebasan pers seperti pembatasan liputan atau akses bagi pekerja media yang benar-benar melakukan tugas jurnalistik meskipun perusahaannya belum terverifikasi,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono dalam rilis yang disebarkan ke media Selasa (7/2/2017).

Suara lebih keras disampaikan puluhan organisasi pers seperti Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi), FSPM (Forum Serikat Pekerja Media Independen), LBH Pers, Forum Pers Mahasiswa Jakarta, Remotivi, ICT Watch, dan lainnya.

Mereka menolak penerapan barcode untuk media, menuntut perubahan aturan verifikasi, dan berbagai dampaknya seperti pembatasan liputan. “Kondisi ini jelas
membahayakan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers,” kata anggota Dewan Komite Sindikasi Iksan Raharjo. *** nif